Sabtu, 11 Oktober 2025
Ketika Kapur Tak Habis
Kapur yang Tak Habis
Gejolak Batin Guru Madrasah Swasta
(Suara pelan. Cahaya redup. Nada awal lembut dan dalam.)
Pagi itu...
halaman madrasah masih lembab oleh embun.
Anak-anak datang... membawa sandal jepit dan harapan kecil.
Saya menyapu lantai kelas yang retak—
retak seperti rencana hidup... yang sering tertunda.
Kapur tinggal separuh...
tapi semangat saya kadang tinggal seperempat.
Pernah gagal,
pernah ingin menyerah,
pernah menatap pintu madrasah dengan niat tak kembali.
Namun entah mengapa...
kaki ini selalu pulang ke sini —
tempat yang miskin... tapi menenangkan.
Ada sesuatu di sini yang menahan:
tawa anak-anak yang belum tahu arti kalah,
dan mata mereka... yang percaya bahwa ilmu bisa mengubah nasib.
(Nada sedikit meninggi — getir, reflektif)
Tahun ini, anggaran daerah turun lagi.
Dua ratus empat puluh empat miliar, katanya.
Artinya...
kami harus menunggu lebih lama lagi untuk mendapat giliran,
lebih lama untuk ruang kelas yang layak,
lebih lama... untuk tunjangan kesejahteraan.
Saya hanya orang kecil...
tak punya hak budgeting untuk berlindung di bawah payung kebijakan.
Nama saya... tak tercatat di rapat besar
yang menentukan arah pembangunan.
Karena bagi mereka...
guru madrasah swasta bukan prioritas.
Kami hanyalah catatan kaki...
dari rencana panjang negeri ini.
(Nada menurun, lembut, penuh pasrah)
Saya takut berharap pada pemerintah,
karena setiap kali berharap...
yang datang justru kabar pemangkasan.
Mungkin beginilah nasib kami:
memperpanjang napas kesabaran,
menambal keyakinan agar tak robek,
mengajar dengan gaji yang tak cukup menutup harga beras,
namun tetap tersenyum... di depan murid yang bertanya,
> “Ibu, kapan sekolah kita dicat lagi?”
(Jeda. Ambil napas. Nada lebih ringan, seperti adegan kehidupan sehari-hari.)
Suatu hari...
petugas datang membawa bantuan makan bergizi.
Program MBG, katanya.
Kami membantu menata ompreng di meja panjang.
Aroma sayur dan nasi memenuhi ruang kelas yang sempit,
dan di antara riuh anak-anak, petugas berseru pelan,
> “Coba, Ustadzah... dicicipi dulu. Enak? Masih segar?
Basi, atau... beracun? Aman, ya?”
Aku tersenyum — senyum yang setengah gugup, setengah pasrah.
Kuseduh sesuap kecil, menelannya perlahan.
Entah karena lapar sejak pagi,
atau karena lidahku sudah terbiasa dengan rasa apa adanya.
Tadi pagi aku hanya sarapan nasi dengan sepotong tempe,
entah nanti malam masih ada lauk atau tidak.
Tapi melihat anak-anak makan dengan lahap,
rasanya seperti ikut kenyang.
Ada bahagia yang tak sederhana —
bahagia melihat mereka tertawa sambil mengunyah,
seolah tak ada dunia di luar madrasah
yang sedang repot menghitung anggaran.
Aku hanya bisa berharap...
makanan yang datang ini selalu sehat dan bergizi.
Sebab kalau suatu hari mereka sakit,
kami para guru yang paling lelah...
dan yang paling terluka,
bukan karena tanggung jawab,
tapi karena cinta.
(Jeda panjang. Lanjut dengan nada getir tapi terjaga.)
Saya membaca di layar HP jadul,
para anggota DPRD tersenyum lebar.
Memformulasikan hak-hak budgeting yang mereka miliki.
Pasal-pasal dipilih, angka-angka dimasukkan.
Mereka sudah punya rumah,
tapi masih dapat tunjangan perumahan.
Mereka sudah bicara,
tapi masih diberi tunjangan komunikasi.
Kuotanya mungkin cukup untuk menghidupi satu RT kami... sebulan.
Saya membaca kabar itu dari media sosial,
di sela menyiapkan RPP dan menambal seragam anak yang sobek.
Saya tidak marah.
Saya hanya diam.
Diam yang panjang...
seperti jeda antara doa dan kenyataan.
(Nada turun pelan, sendu tapi kuat.)
Saya tahu,
saya hanya ustadzah di madrasah kecil.
Tugas saya bukan menuntut... tapi menanam.
Menanam harapan di tanah yang kering kebijakan.
Mungkin hasilnya tak saya lihat.
Mungkin tak sempat saya nikmati.
Tapi kalau saya berhenti —
siapa yang mau mengajar di sini?
Saya belajar sabar dari papan tulis yang terus hitam.
Dan belajar ikhlas dari kapur yang perlahan habis.
Saya kawulo alit,
takut pada pejabat... tapi lebih takut pada hati yang menyerah.
Maka saya tetap menunduk,
bukan karena kalah,
melainkan karena tahu:
di bawah reruntuhan kebijakan,
ada anak-anak yang masih butuh guru untuk bermimpi.
(Diam sejenak. Lalu dengan napas dalam, suara pelan, yakin, khusyuk)
Dan saya ingin tetap di sini,
meski cuma sebagai jejak kapur
yang tak pernah benar-benar hilang.
(Jeda. Satu tarikan napas terakhir.)
Kawulo yakin... saestu Gusti mboten sare.
(Tutup. Lampu padam perlahan.)
Langganan:
Postingan (Atom)